Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad)
Ramadhan bukan sekadar bulan yang datang dan pergi. Ia adalah cahaya yang Allah kirimkan setiap tahunnya, memberi kita ruang untuk berbenah, kesempatan untuk mendekat, dan waktu untuk benar-benar mengingat. Namun, apakah kita sungguh memahami kehadirannya, ataukah hanya menjalaninya seperti ritual tahunan yang berlalu begitu saja?
Dalam bukunya Purification of the Heart, Hamza Yusuf mengingatkan bahwa hati manusia ibarat cermin—ia bisa berdebu dan kehilangan kejernihannya. Ramadhan hadir sebagai waktu untuk membersihkan cermin itu, agar kita bisa kembali melihat kebenaran dengan jelas. Ia bukan sekadar tentang lapar dan haus, melainkan tentang bagaimana kita menata diri, memperbaiki niat, dan meresapi makna ibadah dengan lebih dalam.
Dahulu, para sahabat mempersiapkan diri jauh sebelum Ramadhan tiba. Bagi mereka, bulan ini adalah puncak dari perjalanan spiritual yang telah mereka bangun sepanjang tahun. Mereka tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari segala hal yang bisa mengurangi nilai puasa mereka—kemarahan yang tak perlu, perkataan yang sia-sia, bahkan sekadar pandangan yang tidak membawa manfaat.
Lalu bagaimana dengan kita? Sering kali, kita terjebak dalam rutinitas ibadah yang kita lakukan tanpa benar-benar menghidupkannya. Kita shalat, tetapi pikiran melayang ke berbagai arah. Kita membaca Al-Qur’an, tetapi hati kita tidak benar-benar hadir. Kita berpuasa, tetapi tidak menahan diri dari hal-hal yang seharusnya kita jauhi. Padahal, esensi Ramadhan bukan hanya sekadar menjalankan ibadah, tetapi menghayatinya.
Ramadhan adalah bulan untuk kembali. Kembali kepada Allah, kembali kepada ketenangan, dan kembali kepada fitrah kita sebagai manusia yang merindukan cahaya. Ia adalah waktu di mana setiap doa lebih mudah menembus langit, setiap langkah menuju masjid lebih bermakna, dan setiap sujud menjadi lebih dalam.
Di belahan dunia lain, ada mereka yang menyambut Ramadhan dengan keadaan yang jauh berbeda. Di Palestina, saudara-saudara kita beribadah di tengah kepedihan. Mereka berbuka dengan apa yang ada, bersujud di antara reruntuhan, dan bertahan dengan keyakinan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan mereka. Kita yang diberikan keamanan, kelapangan, dan kemudahan, masihkah enggan untuk bersungguh-sungguh? Masihkah kita membiarkan hari-hari berlalu tanpa perubahan yang berarti?
Ramadhan adalah pengingat bahwa dunia ini bukan tujuan, melainkan perjalanan. Bahwa yang abadi bukan apa yang kita kumpulkan, tetapi apa yang kita persembahkan. Bahwa sebaik-baik manusia bukanlah mereka yang memiliki segalanya, tetapi mereka yang menggunakan apa yang dimilikinya untuk lebih dekat kepada Allah.
Maka sebelum Ramadhan ini berlalu, mari kita manfaatkan setiap detiknya dengan sebaik-baiknya. Mari kita pastikan bahwa puasa kita bukan hanya menahan lapar, tetapi juga menumbuhkan kesadaran. Bahwa shalat kita bukan hanya rutinitas, tetapi sebuah perjumpaan yang tulus dengan Sang Pencipta. Bahwa setiap amal kita bukan sekadar kebiasaan, tetapi sebuah persembahan yang akan kita bawa saat kembali kepada-Nya.
Komentar
Posting Komentar