Perempuan di tengah Masyarakat
Hai! Assalamualaikum! Perkenalkan namaku Shinta Rahmasari. Aku adalah salah satu mahasiswi yang berkuliah di jurusan ilmu hukum di Fakultas Hukum UNS. Aku berasal dari Solo dan saat ini berumur 19 tahun. Sebetulnya aku membuat blog karena ingin berbagi keresahan yang lama kurasakan di tengah masyarakat kita sekarang. Harapanku untuk kalian yang membacanya, bisa menambah pengetahuan dan membuka pola pikir lebih luas lagi. Aku tidak ingin menyinggung pihak manapun, hanya sekedar berekspresi di jejaring sosial. Bagi yang sepemikiran denganku, mungkin blog ini akan cocok untuk kalian. Akan tetapi, jika ada yang memiliki perbedaan pandangan akupun tidak menghakimi kalian karena sesungguhnya orang-orang berhak berekspresi dan mengeluarkan pendapatnya masing-masing. Tanpa lama-lama aku akan memulai pembahasannya, ya!
Dalam beberapa platform sosial media yang aku jumpai, sering sekali aku menjumpai hal yang berkaitan dengan perempuan. Perempuan seringkali dianggap sebagai makhluk yang lemah, precious, bahkan di sama-samakan dengan berlian yang harus di lindungi dan di jaga. Perempuan seringkali disuruh untuk senyum supaya cantik, pasti kebanyakan dari kita sering mendengar kata-kata “marah-marah mulu sih kamu, lagi PMS ya?”. Perempuan berkarir di judged menelantarkan anak dan suaminya, meanwhile laki-laki yang berkarir dianggap husband goal. Sedangkan perempuan yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga dianggap hanya menganggur saja di rumah dan menjadi beban suami. Ketika perempuan dianggap sudah berumur selalu ditanya “kapan menikah?” karena jika tak kunjung menikah akan di cap sebagai perawan tua. Begitupun setelah menikahpun ditanya lagi “kapan punya anak?” karena katanya seseorang belum dianggap 100% menjadi perempuan kalau dia tidak tahu rasanya melahirkan. Perempuan dituntut untuk bisa masak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, bahkan mungkin sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat kita perspektif yang sangat amat salah. Jika perempuan tidak melakukan pekerjaan rumah maka pasti akan dimarahi, dianggap tidak memiliki keterampilan hidup. Sedangkan bila hal tersebut terjadi pada laki-laki, aku rasa jarang sekali orang yang akan merendahkannya. Padahal menurutku, yang seharusnya memiliki keterampilan dalam melakukan pekerjaan rumah tidak hanya perempuan saja, toh jika laki-laki mau tahu, mau membantu, dan mau belajar juga akan berguna untuk dirinya sendiri juga. Perempuan seringkali disuruh agar tidak terlalu pintar dan tidak terlalu sukses karena katanya “nanti kamu susah dapat jodoh.” All male panel, Perempuan kalau nggak pakai make-up dianggap tidak bisa mengurus diri. Kalau perempuan memakai make-up dikira mau menggoda laki-laki. Objektifikasi terhadap perempuan di media “you’re not like other women”. Perempuan dianggap hanya perduli dengan fisik mereka saja, perempuan dianggap tidak capable menjadi pemimpin karena katanya perempuan suka terlalu emosi dan cenderung pakai perasaan. Hal-hal seperti itu pasti seringkali kita rasakan, entah dimanapun kita berada. Bahkan tidak hanya itu, perempuan juga sering kali dilecehkan sekalipun itu adalah perempuan yang masih dibawah umur.
Realitasnya masalah yang dihadapi perempuan memang sangat banyak. Jika kita ketahui hampir setiap hari ketika perempuan di lecehkan, polisi justru tetap diam karena mereka pikir perempuan pantas mendapat hal tersebut. Bahkan belakangan ini aku jumpai kasus pada polisi yang seharusnya menjadi pelindung bagi yang lemah justru melecehkan perempuan itu sendiri. Bahkan hingga kini mysoginst dan budaya patriarki masih sangat dilanggengkan. Memposisikan perempuan sebagai gender kelas 2. Dalam segi kemampuan dan kelihaian, kalau ada sosok laki-laki pasti masih diutamakan posisinya daripada perempuan. Contohnya pada jajaran pemerintahan yang jumlahnya 30% perempuan dan 70% pria. Padahal, sudah ada bukti emasipasi perempuan di masa kini yaitu dari Bu Susi dan Bu Sri Mulyani. Tak jarang aku sendiri menjumpai anak perempuan yang tidak diizinkan untuk belajar karena nasibnya menjadi ibu rumah tangga, atau ketika perempuan tidak diizinkan untuk berekspresi karena itu memalukan. Itu yang ingin ku akhiri karena masih banyak tertanam di pikiran masyarakat sesuatu konsep yang salah.
Mari berganti pada kasus yang sedang ramai-ramainya di bicarakan, yaitu mengenai kasus perempuan yang di lecehkan ketika melaksanakan sholat. Jika menseksualisasikan seorang perempuan karena apa yang dia kenakan, dan jika berpikir itu memberi hak untuk melecehkannya secara seksual, masalahnya sebetulnya ada pada orang yang memiliki pemikiran itu, bukan perempuan tersebut. Seperti kasus yang saya sebutkan tadi, perempuan yang dilecehkan saat dalam posisi sujud waktu sholat dikarenakan katanya posisinya mengundang syahwat. Jika kita fikir bukankah itu hal yang aneh? Lalu bagaimana perempuan harus berposisi saat sholat? Bukankah semua gerakan sholat itu sama? Ada lagi kasus pembegalan payudara di lampu merah yang sepertiya sudah banyak kita dengar terutama di daerah Solo. Faktanya perempuan masih begitu mudahnya direndahkan seperti contoh yang sudah saya jelaskan. Kami sebagai perempuan tidak ingin tumbuh dalam harapan orang lain. Kami ingin memiliki otonomi tubuh dan seksualitas kami. Bukan urusan orang lain kami ingin menggunakan pakaian apa atau mau melakukan apa. Yang menjadi point utama adalah "perempuan disini bukan sebagai obyek."
Sebetulnya dalam bidang ketenagakerjaan, pemerintah sendiri memiliki Undang-Undang yang sudah cukup bagus untuk ditegakkan demi melindungi hak perempuan yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Pasal 76. Masalahnya yang menjadi catatan adalah minimnya pengawasan dari pemerintah terkait perlindungan tenaga kerja perempuan yang membuat perusahaan melaksanakan peraturan ini dengan seenaknya. Contohnya seperti kasus pada salah satu buruh PT. Aice, Elitha Tri Novianty. Perempuan berusia 25 tahun ini sempat mengajukan pemindahan divisi kerja karena memiliki penyakit endometriosis. Akan tetapi, perusahaan justru mengancam akan memecatnya. Elitha terdesak dan tidak memiliki pilihan lain selain terus bekerja. Hal tersebut mengakibatkan dia mengalami pendarahan akibat tugasnya yang terlalu berat. Ia terpaksa menjalani operasi dan pengangkatan rahim. Nah disini pemerintah seharusnya bisa melakukan monitor dan enforcement (penegakan hukum) ke perusahaan hingga menjadi mediator antara perusahaan dengan tenaga kerja. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan pemerintah menjalin kerjasama dengan beragam pihak baik lembaga bantuan hukum, lembaga swadaya masyarakat, advokasi, dan organisasi masyarakat untuk bisa ikut berperan dalam membantu pengawasan terhadap pemenuhan hak buruh perempuan. Apabila seluruh pihak berpartisipasi, kemungkinan untuk menegakkan keadilan bagi para buruh perempuan pun juga akan bisa lebih terjamin. Karena terkadang beberapa perempuan takut untuk speakup tentang apa yang dia rasakan, jadi bila kita tahu ada yang tidak beres sebaiknya juga membantu untuk mengatasinya. Karena permasalahan ini tidak hanya menyangkut personal saja sebenarnya tapi sudah mencakup perempuan secara global.
Memang benar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tadi dapat digunakan untuk menjerat hukuman kepada PT. Aice, tapi tidak tahu bagaimana dengan kondisi perempuan di PT yang lain yang mungkin belum terungkap. Terlebih dengan adanya UU Cipta Kerja yang sudah resmi diberlakukan di Indonesia. Disebutkan bahwa jika dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, pekerja perempuan yang tidak masuk kerja karena cuti haid tetap wajib dibayarkan upahnya. Akan tetapi, dalam draft omnibus law, hak ini tidak disebutkan secara eksplisit. Satu celah lagi yang belum diakomodasi oleh UU yang baru tersebut adalah perlindungan buruh non formal. Tenaga kerja non formal seperti asisten rumah tangga, pekerjaan yang mayoritas dilakukan pekerja perempuan, tidak memiliki payung hukum untuk melindunginya. Hal ini membuat hak dan keselamatan kerja mereka menjadi bias pada pekerja sektor formal.
Baik untuk selanjutnya aku akan membahas tentang kasus GA yang tentunya sudah banyak diketahui oleh khalayak umum. Tapi sebelumnya aku ingin bertanya deh, disini menurut kalian yang salah dari pihak GA atau dari orang yang menyebarkan video tersebut? Yuk kita bahas bersama. Dalam hal ini sebetulnya terdapat celah hukum di Pasal 27 ayat 1 UU ITE, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan." inilah yang seharusnya menjadi sorotan. Bagi yang belum tahu, Video tersebut beredar di dunia maya awal November 2020 lalu. Beberapa minggu kemudian, polisi menahan dua tersangka, PP dan MM yang diduga menyebarluaskan video dengan niat meningkatkan jumlah followers mereka di media sosial. Mari kita lihat pada Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yang intinya melarang setiap orang untuk membuat atau menyediakan pornografi. Kemudian pada Pasal 6 melarang setiap orang memiliki atau menyimpan produk pornografi. Pelanggaran Pasal 4 ayat (1) tersebut diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 250 juta rupiah dan paling banyak 6 miliar rupiah. Ditemukan bahwa “membuat” dalam Pasal 4 dan “memiliki dan menyimpan” dalam Pasal 6 tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Mengacu pada peristiwa yang terjadi, menurut saya, GA dan MYD tidak menghendaki tersebar luasnya video tersebut kepada publik, sehingga keduanya sesungguhnya merupakan korban yang harus dilindungi. Oleh karena itu, kasus ini sempat menuai polemik karena UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi seharusnya melindungi mereka sebagai korban terkait pembuatan dan kepemilikan pornografi dalam ranah pribadi. Dalam hal ini mengingat asas praduga tak bersalah juga. Dalam proses perkara pidana, asas praduga tidak bersalah diartikan sebagai ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pemidanaan tetap tidak bersalah sehingga harus dihormati hak-haknya sebagai warga negara sampai ada putusan pengadilan negeri yang menyatakan kesalahannya. Akan tetapi pada faktanya, justru GA disini yang di highlight oleh masyarakat dan menjadi viral. Berarti tandanya masyarakat sendiri belum paham akan Undang-Undang yang kita miliki. Karena sejatinya ini bukan masalah terkait norma, ini adalah menyangkut hak setiap individu.
Tak terasa sudah panjang lebar aku mengulas berbagai keresahanku terkait perempuan. Kuucapkan banyak terimakasih kepada kawan-kawan semua yang telah sudi untuk membaca sampai titik terakhir. Semoga kalian sehat selalu terutama dalam keadaan bumi kita yang sedang tidak baik-baik saja.
Terlebih lagi terkait pandangan tentang perempuan di masyarakat yang semakin berkembang bahwasannya ada anggapan jika seorang perempuan yang melahirkan secara caesar itu belum bisa dianggap sebagai seorang perempuan dan sering dikatakan jika perempuan tersebut tidak bisa disebut sebagai ibu seutuhnya.
BalasHapus