Budaya Patriarki Yang Masih Kental Dalam Film Yuni
Yuni namanya, seorang perempuan yang kerap dijuluki memiliki ‘penyakit ungu’. Mulai dari pakaian, ikat rambut, tas ransel, motor, detergen, semua barang miliknya, jika ada opsi warna ungu, itulah yang akan ia pilih. Terkadang, Yuni mencuri barang teman-temannya. Ia diam-diam mengambil ikat rambut teman sekelasnya yang berwarna ungu, lalu mengincar case handphone temannya yang tergeletak di pojok lantai ruang kelas. Ternyata warna ungu yang menjadi obsesi Yuni jugalah warna yang menyimbolkan gerakan perempuan. Warna ini dipakai peringatan International Women’s Day dan menjadi salah satu simbol solidaritas publik untuk mendorong pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia. Ungu juga menyimbolkan ‘keadilan’ dan ‘harga diri’. Lewat Yuni, kita diajak mencari titik-titik kecil kebebasan ketika perempuan-perempuan Indonesia lahir, mencari arah, merekah, dan berserah.
Menurut pendapatku
pribadi, film ini harus ditonton oleh semua orang. Film ini relate sekali
dengan kehidupan masyarakat. Meskipun kini kita hidup di tengah-tengah bangsa
modern, tapi tak menutup kemungkinan hal ini masih terjadi hingga kini. Bagian
dari film ini dimulai dari bagaimana masyarakat yang masih meyakini adanya
takhayul, patriarki yang kental, dan bagaimana perempuan tersudutkan hampir di
segala situasi bermasyarakat. Saking relatenya film ini dengan kehidupan nyata,
menurutku sangat mungkin jika ada banyak yuni-yuni lain di luar sana. Seorang
perempuan yang sama tersudutkan dan terkurung seperti yuni.
Aku suka penokohan
yuni ini karena dia perempuan yang pintar, supel, cantik dan memiliki mimpi
yang besar. Film ini juga sangat apa adanya. Sangat sederhana tetapi juga
kompleks. Terlebih saat part dimana teman-teman yuni yang menjadi korban
patriarki membuat aku bisa merasakan emosi yang dirasakan oleh pemain dalam
film tersebut. Rasa kesal, sedih, dan miris bercampur menjadi satu. Sepanjang
film dihantui rasa penasaran akan "Mengapa perempuan seakan tidak punya
kehendak atas dirinya sendiri?" dan "Mengapa masyarakat begitu
menyudutkan perempuan dan memudahkan semuanya untuk laki-laki?" Patriarki,
pernikahan dini, mitos takhayul, edukasi seks, ketimpangan sosial, dan isu
LGBT. Hal-hal tersebut merupakan masalah sosial yang kerap kali terjadi di
lingkungan kita, dan film ini merangkul itu semua dengan ciamik.
Puisi karya Pak
Sapardi Djoko Damono juga menambah rasa dalam film ini. Bagaimana "Hujan
Bulan Juni" bersatu dalam film yang tragis, bagaimana tokoh Yoga
memberikan puisi "Aku Ingin" kepada Yuni untuk menggambarkan
perasaannya. Kemudian ada juga "Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari"
dan terlebih betapa excitednya aku ketika ada puisi "Pada Suatu Hari
Nanti", dinarasikan di dalam film. Benar-benar membuatku berfikir:
"wah gila sumpah keren banget ini film bikin merinding". Overall aku
puas banget dan nggak nyesel liat film ini. Filmnya keren, bukan cuma sekedar
film aja tapi ada pesan moral yang bisa diambil, membuat kita membuka mata lagi
terkait fenomena yang mungkin tidak disadari beberapa orang masih kerap terjadi
di masyarakat yang bisa dikatakan sudah semaju ini.
Kesimpulannya Yuni
juga sama seperti kita, tak selalu tahu apa yang dimau hati kecilnya, tapi Yuni
paham bagaimana pentingnya kebebasan dapat membantu meraihnya. Bagaimana
kebebasan dari kemiskinan dapat membuka begitu banyak peluang. Bagaimana
kebebasan dari keterbatasan ilmu pengetahuan dapat membuka wawasan dan kematangan
berpikir suatu kelompok. Bagaimana kebebasan dari belenggu intergenerasi dapat
membuka harapan-harapan baru untuk hidup bahagia. Begitu banyak kebebasan yang
ingin diraihnya, namun keadaan tak pernah berpihak padanya. Yuni berserah,
suatu hari nanti suaranya tak akan didengar dan impiannya tak akan dikenal
lagi. Intuisinya dengan ritme alam membawanya menghilang bersama hujan,
membiarkan yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga. Tiap rintik hujan yang
membasahi bumi menjadi doa dan harapan agar impiannya, perjuangannya, dan
kebebasan-kebebasan kecil yang pernah dipeluknya, tetap hadir dan hidup lewat
perempuan-perempuan lainnya meski jasadnya tak ada lagi.
Perempuan, layaknya
manusia biasa, adalah makhluk yang kompleks. Bukan karena emosinya yang tak
stabil karena kedatangan ‘tamu’ bulanan, namun karena perempuan berhak dilihat
dalam keutuhannya sebagai manusia. Perempuan dapat bekerja, dapat menjadi
anggota intelektual, dapat melakukan transformasi sosial masyarakat, tapi juga
dapat kehilangan arah, dapat membutuhkan dan meminta bantuan, dapat stuck dalam
proses pencarian kehidupan apa yang diinginkannya, semuanya dapat dilakukan
saat dia memegang kendali atas opininya, emosinya, dan keputusannya sendiri.
Seharusnya perjuangan perempuan di dalam memperoleh hak-haknya tidak lantas
diterjemahkan sebagai langkah oposisi perlawanan terhadap kekuasaan. Sebab,
merdeka bukanlah jenis kelamin.
Komentar
Posting Komentar