Langsung ke konten utama

Melangitkan Target Hafalan Qur’an

Melangitkan Target Hafalan Al-Qur’an


        Menghafal Al-Qur’an adalah ibadah yang dahsyat, ia merupakan dzikir yang paling agung. Membaca Al-Quran berarti berbincang-bincang dengan Rabb Semesta. Adakah yang bisa mendatangkan ketenangan melebihi ini? Sayangnya, banyak penghafal Al-Quran yang hafalannya justru menjadi sumber kegelisahan. Semakin banyak hafalan, justru semakin stres dan gelisah. Mungkin, kamu salah satunya. 
        Tulisan ini, semoga menjadi tamparan yang segera mengembalikan kesadaran kita terhadap Al-Quran sebagaimana fungsi aslinya, yaitu sebagai sumber ketenangan. Sebab, jika kita mengaku menghafal Al-Quran, tapi Al-Quran justru menjadi kegelisahan, pasti ada yang salah dalam proses yang kita lakukan. Ini tentang target. Kebanyakan, target kita menghafal Al-Quran adalah selesai 30 juz. Dan, tak banyak yang sadar, target seperti inilah yang berkali-kali telah berhasil menjatuhkan para penghafal Al-Quran. Semangat mereka akhirnya meregang nyawa dan perlahan mati, terkubur bersama impian yang tak berhasil dimiliki. 
        Pada satu sisi, target 'selesai' sangat memacu diri untuk menyelesiakan hafalan. Tapi pada sisi yang lain, target seperti ini justru menjadikan para pejuang Al-Quran frustasi dan putus asa, apalagi bagi mereka yang tidak benar-benar kuat semangatnya. Perjuangan yang hanya terfokus pada 'kapan selesai' selalu berhasil menciptakan barisan-barisan kegelisahan seperti,

 "Mengapa hafalan saya tidak kunjung selesai.. "

"Ah, ternyata menghafal Al-Quran itu susah.. "

"Kapan ya hafalan saya bisa lancar.. "

Iya, kamu memang tidak pernah mengucapkannya dari lisan. Tapi kegelisahan-kegelisahan semacam itu terus ada dan tak berhenti mengacaukan hati dan pikiranmu. Jujur saja. 

        Sebab dari pada itu izinkan saya mengatakan ini, bahwa 'selesai 30 juz' adalah target yang salah. Bagi penghafal Al-Quran, target ini terlalu rendah. Target penghafal Al-Quran harus melangit lebih dari itu. Target yang lebih penting dari 30 juz adalah: Bisa selalu bersama Al-Quran.Kebersamaan dengan Al-Quran jauh lebih dahsyat daripada selesai 30 juz. Penghafal Al-Quran yang mengaku telah menyelesikan 30 juz, tapi kebersamaannya dengan Al-Quran terhenti, maka saat itu juga ia bukan lagi penghafal Al-Quran. 

        Sebaliknya, saat target kita adalah untuk 'terus bersama Al-Quran', sesungguhnya 30 juz sudah terlewat sejak hari pertama kita berjuang . Sebab, hari-hari kita menjadi fokus pada menikmati kebersamaan dengan Al-Quran dan tak peduli lagi pada 'kapan hafalan ini akan selesai'. "Bisa bersama Al-Quran sudah lebih dari segelanya. " Kesadaran tersebut sudah harus tertanam kuat dalam hati. Sehingga, tak akan ada lagi kegelisahan. Yang ada, kenikmatan.

        Hari-hari perjuangan menjadi hari-hari menikmati Al-Quran. Bahkan, saat hafalan tak kunjung selesai dan tak kunjung lancar, kesadaran tersebut menghadirkan ketenangan dan kenikmatan tersendiri. Sebab jika ketidak-lancaran menjadikan kita semakin sering berinteraksi dengan Al-Quran, mengapa kita harus bersedih? Alhasil, target semacam ini akan memberikan kekuatan yang besar, sebab tak ada lagi alasan apapun yang bisa menjatuhkan pejuang Al-Quran yang mencintai kebersamaan dengan Al-Quran. Mereka begitu kuat! 


— Dikutip dari pesan Ustadz Ahmad Khoirul Anam, semoga Allah selalu menjaganya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan: Saatnya Kembali Menemukan Diri

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan ata s kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad)      Ramadhan bukan sekadar bulan yang datang dan pergi. Ia adalah cahaya yang Allah kirimkan setiap tahunnya, memberi kita ruang untuk berbenah, kesempatan untuk mendekat, dan waktu untuk benar-benar mengingat. Namun, apakah kita sungguh memahami kehadirannya, ataukah hanya menjalaninya seperti ritual tahunan yang berlalu begitu saja?      Dalam bukunya Purification of the Heart, Hamza Yusuf mengingatkan bahwa hati manusia ibarat cermin—ia bisa berdebu dan kehilangan kejernihannya. Ramadhan hadir sebagai waktu untuk membersihkan cermin itu, agar kita bisa kembali melihat kebenaran dengan jelas. Ia bukan sek...

Kau akan Dibuat Jatuh Hati Berkali-kali

Kita bisa menanam, menyiram, dan merawat, tetapi kehidupan—tumbuhnya benih menjadi tanaman yang hijau—adalah hasil dari kuasa Allah. Allah-lah Sang Maha Pencipta, yang mengatur kehidupan dengan sempurna, sementara manusia hanya menjadi perantara kecil dalam rangkaian takdir-Nya. "Maka apakah kamu memperhatikan apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya?" (QS. Al-Waqi'ah: 63-64)     Bagaimana mungkin kita tidak dibuat jatuh cinta dengan Allah, sedang jika kita berjalan kepada-Nya, Dia akan berlari menuju kita. Bagaimana mungkin kita tidak berani bermimpi besar, sedang Allah Maha Kaya dan Maha Besar. Bagaimana mungkin kita ragu untuk meminta, sedang Allah Maha Memberi Segalanya. Bagaimana mungkin kesedihan terus ada, sedang Allah selalu bersama kita untuk mengobati segala luka.      Bagaimana mungkin kita meragukan kuasa-Nya, sedang dengan kuasa itu kita bisa hiduo dan dipelihara, alam semesta dan isinya bisa ada dengan pengatur...

Bagaimana Percaya Tuhan?

Bagaimana Percaya Tuhan?     Seorang manusia pada dasarnya sejak lahir memiliki sebuah fitrah/pegangan. Dari fitrah tersebut lahirlah kepercayaan. Kemudian timbul sebuah pertanyaan, apa yang kamu percayai? Atau, apa yang menjadi kepercayaan seorang manusia? Atau, Mengapa seorang manusia perlu memiliki sebuah kepercayaan? Jika aku simpulkan dari pokok diskusi kita malam itu, m anusia memang memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Jika ditanya, "Kepercayaan merupakan suatu kebutuhan atau kebenaran?" jawabannya tentu keduanya. Kenapa? karena kepercayaan akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup manusia. Tetapi selain itu dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat.  Bentuk- ben...